Pernyataan HTI Tentang Bentrok Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang

Pernyataan HTI Tentang Bentrok Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang

KANTOR JURU BICARA

HIZBUT TAHRIR INDONESIA

Nomor: 193/PU/E/02/11

Jakarta, 07 Februari 2011 M

Pernyataan

HIZBUT TAHRIR INDONESIA

Tentang

Bentrok Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang

Seperti telah diberitakan, pada hari Ahad pagi 6 Februari lalu terjadi bentrokan antara anggota Jemaah Ahmadiyah dan warga di Kampung Pendeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Akibatnya, delapan orang menjadi korban, tiga di antaranya meninggal dunia. Ini adalah bentrok antara anggota Jemaah Ahmadiyah dan warga yang terjadi untuk untuk kesekian kalinya. Sebelumnya bentrok serupa terjadi di Ciampea, Bogor, lalu di Desa Manis Lor, Kuningan, dan yang terakhir pada 29 Januari lalu bentrok juga terjadi di Makassar.

Bentrokan di Cikeusik dan yang terjadi sebelumnya dipicu oleh fakta bahwa Jemaah Ahmadiyah memang tidak mengindahkan larangan untuk beraktifitas sebagaimana disebutkan dalam SKB Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Nomor 199 Tahun 2008, dimana intinya SKB tersebut memberikan peringatan dan perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI sepanjang mengaku beragama Islam untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam, yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.

Bahwa di dalam setiap bentrok tersebut ada juga didorong oleh rasa emosi atau amarah warga sekitar, mungkin itu benar. Tapi emosi atau amarah warga itu bisa dimengerti mengingat Jemaah Ahmadiyah adalah kelompok yang sangat menghinakan Nabi Muhammad dan juga kesucian al Qur’an yang diacak-acak di dalam kitab mereka Tadzkirah.

Dan yang paling utama, bentrok itu dipicu oleh ketidaktegasan pemerintah dalam hal ini Presiden SBY yang hingga sekarang tidak juga kunjung mengeluarkan larangan atau pembubaran terhadap Jemaah Ahmadiyah padahal dasar hukum yang diperlukan untuk itu sudah lebih dari cukup, baik berupa Fatwa MUI, hasil Kajian Bakorpakem, SKB 3 Menteri maupun tuntutan ormas-ormas Islam. Ketidaktegasan itulah yang membuat Jemaah Ahmadiyah merasa mendapat angin, yang itu kemudian memunculkan gesekan dengan umat Islam di berbagai tempat.

Berkenaan dengan hal di atas, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:

1. Menyesalkan terjadinya bentrok antara anggota Jemaah Ahmidyah dan warga sekitar. Bentrok ini sesungguhnya tidak perlu terjadi andai pemerintah bersikap tegas menyangkut keberadaan Jemaah Ahmadiyah.

2. Bahwa pemerintah dalam hal ini Presiden SBY mestinya segera mengeluarkan keputusan untuk membubarkan Jemaah Ahmadiyah atau menyatakannya sebagai kelompok non-muslim. Hanya dengan keputusan seperti inilah persoalan Jemaah Ahmadiyah dapat diselesaikan dengan tuntas dan menutup pintu terjadinya bentrok lebih lanjut. Lambatnya Presiden dalam mengambil keputusan bisa dianggap turut membiarkan terjadinya konflik horisontal karena warga akan mengambil jalan sendiri-sendiri dalam menyelesaikan persoalan Jemaah Ahmadiyah ini.

3. Menyerukan kepada pengikut Jemaah Ahmadiyah untuk segera kembali kepada jalan yang benar dengan cara meninggalkan ajaran Ahmadiyah yang jelas-jelas telah dinyatakan sesat dan menyesatkan. Hanya dengan cara itu kedamaian hidup dengan umat Islam lain bisa didapat.

Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia

Muhammad Ismail Yusanto

Hp: 0811119796 Email: Ismailyusanto@gmail.com

Read more

Kristen dan Muslim di Mesir Perlu Kembalinya Khilafah

Kristen dan Muslim di Mesir Perlu Kembalinya Khilafah

Banyak orang terkejut oleh ledakan bom di luar sebuah Gereja Kristen Koptik di Alexandria, Mesir pada hari Sabtu, 1 Januari 2011 yang menewaskan 21 orang. Ledakan yang terjadi itu merupakan kelanjutan setelah orang Kristen di Irak menghadapi permusuhan sejak pendudukan Irak yang dipimpin Amerika.

Laporan serupa baru-baru ini juga tentang penganiayaan orang-orang Kristen di Tepi Barat dan di Pakistan. Para komentator mengutuk contoh-contoh serangan itu terhadap umat Kristen di negara-negara mayoritas Muslim sebagai tanda-tanda ketegangan antara kaum Muslim dan non-Muslim. Mereka menunjukkan contoh ‘ekstrimisme’ dan intoleransi atas non-Muslim oleh Muslim.

Celaan seperti itu jarang jarang diberikan terhadap sistem sekuler yang dikelola oleh rezim-rezim otokratis - seperti rezim Hosni Mubarak, Mahmud Abbas, Asif Ali Zardari atau Noori al Maliki (maupun para pendukung Barat mereka) - di mana atas pengawasan merekalah keamanan baik Muslim dan non-Muslim telah memburuk selama bertahun-tahun.
Faktanya adalah rezim-rezim itu sangat sedikit peduli tentang APAPUN yang terjadi atas warganya. Mereka telah menghabiskan bertahun-tahun untuk mengamankan kepentingan mereka sendiri, kepentingan para pendukung di antara kaum elit di negara-negara Muslim dan perusahaan-perusahaan multinasional Barat. Bahkan jika harga-harga telah membumbung tinggi dan terjadi kekacauan diantara warga negaranya - baik Muslim, Kristen atau sebaliknya - mereka tetap tidak peduli.

Berbeda dengan negara-negara sekuler, Islam memiliki pendekatan yang sangat berbeda bagi warga non-Muslim. Warga Non-muslim dari Negara Islam (Khilafah) disebut sebagai Ahlul dzimmah yang berarti mereka menikmati hak penuh atas kewarganegaraan. Mereka adalah warga negara yang hidup, dimana kehormatan, harta dan agama mereka semuanya dilindungi di bawah hukum Syariah, seperti juga warga negara lainnya. Mereka membayar pajak yang dinamakan jizyah tetapi mereka dibebaskan dari kewajiban membayar zakat atau wajib militer.

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa yang menyakiti kafir dhimmi [warga non-Muslim] maka aku adalah lawannya di Hari Kiamat.”
Rasulullah SAW juga bersabda: “Orang yang membunuh seorang Mu’ahid (orang yang memiliki perjanjian dengan Negara Islam) tanpa hak maka ia tidak akan mencium wangi jannah (surga) bahkan jika baunya adalah sejauh jarak perjalanan empat puluh tahun.” [Ahmad]
Sejarah merupakan bukti bahwa kaum muslimin melaksanakan perintah-perintah di bawah Khilafah selama lebih dari ratusan tahun.
Sir Thomas Arnold dalam bukunya ‘Dakwah Islam’ menyatakan: “Kami tidak pernah mendengar tentang segala upaya untuk memaksa pihak non-Muslim untuk masuk Islam atau tentang segala penganiayaan yang bertujuan memberangus orang Kristen. Lebih lanjut dia mengatakan.” Jika khalifah telah memilih salah satu rencana, mereka tentu sudah membasmi orang Kristen semudah apa yang terjadi dengan Islam selama masa pemerintahan Ferdinand dan Isabella di Spanyol, dengan metode yang sama yang diikuti Louis XIV untuk menjadikan mereka beragama Protestan dimana para pengikutnya itu harus dihukum mati;. atau semudah mengusir orang-orang Yahudi dari Inggris selama tiga ratus lima puluh tahun “
Selama masa pemerintahannya, Kekhalifahan mengizinkan kaum non-Muslim untuk memiliki pengadilan sendiri dan hakim yang menyelesaikan sengketa hukum keluarga dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kehidupan pribadi dan agama mereka.

Imam Qarafi (Ulama Islam terdahulu) menyimpulkan tanggung jawab Khalifah bagi kafir dhimmi ketika ia berkata: “Ini adalah tanggung jawab umat Islam bagi Ahli dzimmah untuk merawat mereka yang lemah, memenuhi kebutuhan orang miskin, memberi makan yang lapar, memberikan pakaian, menegur mereka dengan sopan, dan bahkan menoleransi bahwa yang mereka buat jika mereka adalah tetangga, meskipun tangan kaum Muslim berada di atas. Kaum Muslim juga harus menasehati mereka dengan tulus pada urusan mereka dan melindungi mereka terhadap siapapun yang mencoba untuk menyakiti mereka atau keluarga mereka, mencuri kekayaan mereka, atau melanggar hak-hak mereka. “
Rezim Mesir selama beberapa dekade memenjara ratusan ulama Islam dan ribuan aktifis Islam hanya karena menentang rezim itu meskipun hal seperti ini sedikit sekali yang dilaporkan di media Barat atau dilaporkan dengan semangat seperti serangan pada hari ini yang tampaknya mentargetkan penduduk Kristen.
Apakah itu merupakan intoleransi sekuler dari sistem demokrasi di Barat (harap dicatat pelarangan jilbab, niqab di Eropa, dan pelarangan menara mesjid) atau rezim-rezim otokratis di Timur Tengah, agama dan penduduk beragama sedang dianiaya pada saat ini. Sebaliknya, sistim Islam dan Khilafah menjamin hak dan perlindungan atas kaum minoritas, dan agamanya, atau seperti yang ditunjukkan oleh teks-teks Islam dan bukti-bukti sejarah Islam. (hizb.org.uk, 2/1/2011)

Read more

Seruan Khilafah di tengah Krisis Tunisia

Seruan khilafah menggema saat krisis Tunia. Meskipun nyaris tidak diekspos oleh media asing, sebuah video menunjukkan diantara para demonstran saat krisis Tunisia terdapat sekelompok umat Islam yang menyerukan Khilafah (lihat : www.hizb.org.uk). Sebelum pawai dimulai , pembicara utama mengingatkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan Muslim untuk tidak merusak pohon bahkan dalam kondisi perang, Islam juga melarang merusakan barang-barang milik orang lain. Terdapat seruan yang tegas menyerukan perjuangan non kekerasan yang berdasarkan Islam.

Beberapa slogan disuarakan dengan tegas oleh para demonstran “Tidak ada jalan lain, tidak ada jalan lain! Khilafah adalah satu-satunya solusi “, “Dengan jiwa kita, dengan darah kita, kita siap berkorban untuk Islam “. Hal ini menunjukkan para demonstran siap menghadapi petugas keamanan dengan keyakinan mereka.

Saat Berdiri di depan tentara Tunisia mereka pun berpidato : “Wahai tentara muslim, dimana anda di Palestina ? Dimana anda di Irak ? Lepaskanlah rantai penguasa yang membelengu leher anda ! Hai pasukan Muslim, kami siap bersama anda, dengan darah , jiwa , dan anak-anak kami! Hapuskan rezim yang menindas dan dukunglah pemimpin yang satu untuk semua kaum muslimin”

Bukan Hal yang Asing

Khilafah bukanlah hal asing bagi masyarakat Tunisia yang mayoritas Islam. Kejayaan wilayah Tunisia justru terjadi di masa Khilafah. Tentara Muslim di bawah komando Uqba bin Nafi untuk pertama kalinya melakukan ekspedisi futuhat ke wilayah Maghrib pada 670 M. Lima tahun kemudian, pasukan tentara Islam membangun basis pertahanan dan sebuah masjid pertama di kota Kairouan. Pasukan tentara Muslim yang dipimpin Hasan bin Al-Nu’man mampu menguasai kota Tunis dan seluruh wilayah Maghrib pada 705 M.

Puncak kejayaan kota Tunis berlangsung di era kekuasaan Dinasti Hafsiah. Pada masa itu, di Tunis berdiri sebuah perguruan tinggi pertama di Afrika Utara. Di awal abad ke-13 M, Tunis sebuah kota yang berada di wilayah Maghrib mencapai puncak kejayaannya. Ibu kota kekhalifahan Muslim di bagian Utara ‘benua hitam’ itu, sempat menjelma sebagai metropolis kaya raya. Kemajuan yang dicapai Tunis dalam bidang ekonomi, kebudayaan, intelektual, serta sosial tak ada yang mampu menandinginya pada era itu.

Tunis merupakan salah satu kota terpenting dalam sejarah peradaban Islam di Afrika. Betapa tidak. Dari kota inilah ajaran Islam bisa menyebar hingga ke Siciliasebuah provinsi otonom di Italia. Pamornya semakin berkilau seiring berdirinya madrasah Al-Zaituna di kota ituperguruan tinggi pertama di Afrika Utara. Tunis telah melahirkan seorang ilmuwan Muslim terkemuka sepanjang masa, Ibnu Khaldun.

Pada era kejayaan Almohad, ilmu pengetahuan berkembang pesat di wilayah Maghrib. Salah seorang sarjana terkemuka pada era itu, Abu Yusuf Yakub, membangun sejumlah perpustakaan di Tunis dan wilayah Maghrib lainnya. Dinasti ini juga mendukung aktivitas para sarjana Muslim, seperti Ibnu Tufail dan Ibnu Rushd untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah satu arsitektur peninggalan dinasti ini adalah bangunan Giralda of Seville.

Tunis pun menjadi kota yang berpengaruh. Kota itu berkembang menjadi kota perdagangan dan ilmu pengetahuan. Para pedagang dari Venesia dan berbagai belahan dunia lainnya datang ke Tunis untuk berniaga.Kemakmuran yang dicapai kota Tunis masih dapat disaksikan pada abad akhir awal abad ke-16 M. Seorang pelaut dari Turki, Pipi Reis, dalam catatan perjalanannya melukiskan kemegahan dan keindahan kota itu. Menurut Reis, di kota itu berdiri sekitar 5.000 rumah yang gaya arsitekturnya meniru istana kerajaan. Sepanjang kota itu dihiasi dengan kebun dan taman nan indah. (FW dari berbagai sumber)

Read more

HTI : Negara Gagal, Syariah dan Khilafah Solusinya!

Jakarta. Sekitar 10 ribu massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kembali melakukan aksi damai mengkritik kegagalan negara menjalankan fungsi-fungsi pokoknya. Dalam aksi yang dilakukan di depan Istana negara Minggu (23/1) siang ini, HTI mengingatkan pangkal kegagalan negara ini adalah karena tidak diterapkannya syariah Islam.

“Negara telah gagal menjalankan fungsi-fungsi pokoknya, gagal mensejahterakan rakyat, gagal melindungi moralitas rakyat, gagal melindungi kekayaan rakyat, gagal memberantas korupsi dan mafia hukum, gagal melindungi aqidah umat,” kata juru bicara HTI Muhammad Ismail Yusanto.

Menurutnya, meskipun pemerintah mengatakan angka kemiskinan terus turun, tapi secara kasat mata masih sangat banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Hal ini tampak misalnya ada lebih dari 70 juta rakyat miskin yang masih menerima raskin.

Bahkan kini tengah terjadi krisis pangan, harga kebutuhan pokok meroket, daya beli rakyat menurun, ekonomi makin sulit. Sebanyak 4 juta anak Indonesia kurang gizi. Ismail menyatakan : “Rakyat terpaksa berutang, mengurangi makan atau makan seadanya seperti nasi tiwul (yang telah mengakibatkan 6 orang meninggal) atau bunuh diri,”

Pemerintah juga gagal menegakkan hukum.Korupsi makin menjadi-jadi, korupsi banyak dilakukan oleh para pejabat yang berlangsung makin massif dan sistemik “Lihatlah, 148 kepala daerah sekarang ini jadi tersangka korupsi, diantaranya adalah 17 Gubernur,” ujarnya

Namun yang paling utama ,menurut jubir HTI ini dengan tetap setia pada sekularisme dan kapitalisme negara juga telah gagal membawa rakyat ini kepada jalan yang diridhai oleh Allah SWT.

“Memang diakui bahwa kemerdekaan ini adalah atas berkat dan rahmat Allah SWT, tapi pada faktanya pengakuan itu tidak diikuti dengan ketundukan pada segenap aturan-aturan-Nya. Tetap saja, syariahnya disisihkan dan hukum jahiliah dipertahankan.” Tegasnya

Untuk itu HTI kembali menyeruskan solusi syariah dan Khilafah untuk menyelesaikan kegagalan negara ini. Karena menurut HTI persoalannya bukanlah sekedar rezim tapi disebabkan karena aturan kapitalisme-sekuler.

“Disinilah pentingnya seruan kita selama ini ‘Selamatkan Indonesia Dengan Syariah’ ,karena hanya dengan penerapan syariah secara kaffah di bawah naungan Khilafah sajalah, seluruh aspek kehidupan rakyat dan negara ini dapat diatur dengan sebaik-baiknya,” kata Ismail Yusanto.

Aksi damai ini berjalan tertib meskipun dihadiri oleh ribuan massa. Setelah berdoa bersama meminta pertolongan Allah SWT terhadap negara ini, para peserta bubar dengan teratur diiringi dengan hujan. (mediaumat.com)

Read more